


Sepakat dengan Ahluwalia, seorang dokter spesialis anak dari Indraprastha Apollo Hospital, Anju Virmani mengungkapkan beberapa studi ilmiah juga telah menunjukkan bahwa kasus kekurangan vitamin D makin meningkat setiap dekadenya.
Jadi kasus kekurangan vitamin D pada populasi tahun 2000-2010 jauh lebih banyak ketimbang populasi pada dekade sebelumnya. Selain itu, kasus ini lebih banyak terlihat menyerang penduduk perkotaan daripada yang di pedesaan.
Lalu Virmani menerangkan jika akar permasalahannya adalah gaya hidup.
“Saya ingat ada salah satu pasien yang datang kepada saya dalam kondisi patah tulang. Kebetulan dia baru 6 bulan menikah dan kami sempat khawatir dia mengalami KDRT. Tapi dua hari kemudian, kakinya yang lain juga mengalami patah tulang dan kondisi ini menghilangkan prasangka kami sebelumnya karena itu berarti tulang-tulangnya memang sangat rapuh karena kekurangan vitamin D,” tutur Virmani.
Padahal kekurangan vitamin D dapat diatasi dengan cara yang sangat mudah yaitu paparan sinar matahari sebagai sumber vitamin D terbesar.
Sayangnya menurut Ahluwalia anak-anak zaman sekarang jarang bermain di luar rumah. Mereka lebih suka bermain video game di dalam kamar sehingga paparan sinar mataharinya tak memadai.
“Anak-anak penderita kekurangan vitamin D juga cenderung tidak minum susu atau produk turunan susu lainnya. Belum lagi banyak dari mereka yang suka makan makanan cepat saji. Tak heran jika kadar vitamin D dalam tubuh anak-anak ini hanyalah 3-4 nanogram per mililiter darah, padahal kadar normal vitamin D adalah 30 nanogram per mililiter darah,” tambahnya.
Secara khusus, Virmani juga menyarankan agar para orang tua tidak mendorong anak-anaknya, terutama anak perempuan mereka yang menjaga berat badannya, untuk mengonsumsi susu rendah lemak. “Susu ini sama sekali tak ada manfaatnya dan tidak membuat Anda langsing,” katanya.